Dikriminasi Agama Konghucu di Indonesia

Konghucu berdasarkan kitab Zhong Yong agama adalah bimbingan hidup karunia Tian/Tuhan Yang Maha Esa (Tian Shi) agar manusia mampu membina diri hidup di dalam Dao atau Jalan Suci, yakni "hidup menegakkan Firman Tian yang mewujud sebagai Watak Sejati, hakikat kemanusiaan". Hidup beragama berarti hidup beriman kepada Tian dan lurus satya menegakkan firmanNya.

Pada 1965, Soekarno mengeluarkan sebuah keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, di mana agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuklah Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu organisasi Konghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka.

Tahun 1967, Soekarno digantikan oleh Soeharto, menandai era Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, perundang-undangan anti Tiongkok telah diberlakukan demi keuntungan dukungan politik dari orang-orang, terutama setelah kejatuhan PKI, yang diklaim telah didukung oleh Tiongkok. Soeharto mengeluarkan instruksi presiden No. 14/1967, mengenai kultur Tionghoa, peribadatan, perayaan Tionghoa, serta menghimbau orang Tionghoa untuk mengubah nama asli mereka.

Pada tahun 1969, UU No. 5/1969 dikeluarkan, menggantikan keputusan presiden tahun 1967 mengenai enam agama resmi. Namun, hal ini berbeda dalam praktiknya. Pada 1978, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan bahwa hanya ada lima agama resmi, tidak termasuk Konghucu. Pada tanggal 27 Januari 1979, dalam suatu pertemuan kabinet, dengan kuat memutuskan bahwa Konghucu bukanlah suatu agama. Keputusan Menteri Dalam Negeri telah dikeluarkan pada tahun 1990 yang menegaskan bahwa hanya ada lima agama resmi di Indonesia.

Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka.

DALAM PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.

Landasan hukum yang menjadi acuan adalah Surat Keputusan Menteri Agama No MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 yang menyatakan bahwa agama-agama yang dipeluk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan Konghucu.

Sedangkan kewajiban pencantuman Konghucu dalam setiap administrasi kependudukan tertuang dalam Surat Edaran Mendagri ke seluruh kepala daerah, No 470/336/SJ tertanggal 24 Februari 2006. Perintah Mendagri ini diberlakukan secara serentak mulai 1 April 2006.

Konghucu sendiri sudah disahkan sejak pemerintahan Presiden Gus Dur dan mulai mengesahkan Imlek sebagai hari raya konghucu dan masuk dalam hari libur nasional pada masa pemerintahan Megawati.

Dalam KTP Konghucu masih sulit mendapatkan akreditasi, buktinya tidak seluruh daerah di indonesia yang mancantumkan Agama Konghucu di KTP, mengapa kalau sudah masuk agama resmi di indonesia dan dibilang sudah berlangsung lama mengapa masih ada tindakan “penyulitan”. Dimanakah letak persamaan hak dan kewajiban dalam tatanan Negara seperti ini.

Menurut Kepala Bidang Bimbingan Masyarakat Konghucu Kementerian Agama Emmy Nurmawati membenarkan masih terjadinya diskriminasi layanan bagi umat Konghucu. Tidak hanya di daerah, pihaknya mendapati petugas di wilayah Jakarta tidak memberi layanan yang setara dengan penganut agama lain.

Mengapa tindak diskriminasi masih terjadi dalam negera yang demokrasi ini ?
Padahal dalam Pancasila agama memiliki nilai tertinggi dan terbukti ada di sila pertama tetapi mengapa masih saja terjadi negera yang berideologi Pancasila dan berlandaskan hukum ini.
Padahal negara telah lebih dari 12 tahun mengakui secara hukum agama konghucu ini.

Semoga negara cepat menyelesaikan masalah ini sehingga terhindarnya konflik dan kesenjangan sosial yang berkelanjutan.

Referensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan & Komentar Anda di Agung Blog