Asal Usul Karapan Sapi





Konon pada era pemerintahan Pangeran Katandur di keraton Sumenep pada abad ke-15 (1561 M), Raja arif bijaksana ini senantiasa memikirkan cara agar para petani dapat meningkatkan produksi pertanian. Karena pada masa itu, cara bercocok tanam masih sangat sederhana, yakni menggunakan peralatan serba batu. Sang Pangeran, akhirnya menemukan ide cemerlang.
 Setelah berembuk dengan para cerdik pandai, maka dititahkan kepada ahli pertukangan untuk membuat alat yang terbuat dari bambu. Dan alat tersebut ditarik oleh dua ekor sapi, diharapkan dengan bantuan alat tersebut akan mampu mengurangi beban kerja petani. Maka terciptalah sebuah peralatan , yaitu bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi.

Pangeran Katandur, adalah seorang pemimpin yang penuh dengan pemikiran kreatif dan inovatif. Ketika melihat sebagian rakyatnya berkurang kesibukannya seusai panen, terpikir oleh Sang Pangeran untuk memanfaatkan waktu luang dan terbuang tersebut. Semacam keramaian sekaligus kegiatan rekreasi, yang nantinya akan mampu meningkatkan produksi, baik produki peternakan maupun produksi pertanian.
Ide cemerlang pun terlahir, yaitu sebuah bentuk permainan yang mengasyikkan terbentang di benak pikiran sang Pangeran. Permainan yang muncul di pelupuk mata adalah semacam perlombaan. Perlombaan memacu sapi dengan cara memacu berpasang-pasang sapi dalam sebuah areal tegalan yang luas. Dan dalam permainan tersebut, pasangan sapi yang diperlombakan dalam pacuan harus menggunakan peralatan serupa “bajak”, yang biasa dipakai untuk menggarap sawah ladang.
Dalam benak Sang Pangeran, permainan dan perlombaan itu tidaklah jauh kaitannya dengan kegiatan sehari-hari para petani. Dalam arti, bentuk permainan itu nantinya dapat memberikan motivasi dan kecintaan rakyat serta kewajibannya pada sawah ladang. Disamping itu, agar rakyat mampu meningkatkan produksi ternak sapi. Dalam arti, mampu meningkatkan hasil ternak sapi yang sehat, sehingga dapat diadu larinya juga mampu menghasilkan daging sapi bermutu tinggi.
Gagasan Pangeran Katandur terwujud, mula-mula penggandeng pasangan sapi itu terbuat dari bambu. Bentuknya pun serupa bajak. Tetapi ujung bawahnya dibuat rata, sehingga tidak mendongkel tanah. Alat tersebut dinamakan “Kaleles”. Sejak saat itulah, kerapan sapi menjadi perlombaan dan permainan rakyat yang sangat digemari. Pada umumnya perlombaan ini diadakan seusai panen.
Dari masa ke masa, pacuan Kerapan Sapi menjadi bentuk pesta hiburan rakyat dan menjadi tersohor seantero jagat. Pada akhirnya identitas pulau Madura tidak terlepas dari tradisi budaya rakyat ini. Kisah tentang kejantanan para Joki ketika menunggangi Sapi Kerapan dalam sebuah arena, memacu pasangan sapi dalam kecepatan tinggi. Kecepatan, ketangkasan, kecekatan, kepiawaian ketika mengendalikan sapi-sapi tunggangan, merupakan sebuah prestasi yang cukup fantastis dan menakjubkan. Tak kalah dengan kepiawaian para matador di gelanggang adu banteng di Spanyol.
Di samping sebagai sarana hiburan, pacuan Kerapan Sapi mampu menanamkan kecintaan rakyat terhadap alam dan lingkungannya, memotivasi sekaligus mengangkat rakyat pada tingkat kemakmuran tinggi. Gagasan Pangeran Katandur yang spektakuler tersebut, ternyata mampu meningkatkan produksi pangan. Karena untuk mendapatkan sapi yang bagus dan mutu daging tinggi diperlukan makanan berkualitas. Dari sektor ini, raja Katandur mampu menggerakkan rakyat untuk melakukan penghijauan serta meningkatkan semangat dan gairah kerja dalam mengolah dan mengelola tanah.
Tak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas ternak. Prioritas utama adalah dalam bidang ilmu beternak sapi. Minat dan perhatian rakyat terpusat pada cara-cara yang baik, praktis dalam pengembang-biakan sapi. Usaha peternakan sapi tidak saja dikaitkan pada kepentingan pertanian semata, tapi juga pada bibit-bibit sapi yang sehat dan mampu berlari kencang. Pada akhirnya, para peternak bukan hanya mampu menghasilkan sapi yang bagus, berbobot dan mampu berlari kencang, tapi juga mampu mengembangkan ternak yang menghasilkan daging bermutu tinggi. Sampai sekarang daging sapi Madura, dikenal karena sangat lembut dan halus serat-seratnya.
Keberhasilan Pangeran Katandur dalam memicu serta memacu gairah rakyat dalam peningkatan kemakmuran, merupakan sesuatu yang sangat prestisius. Kejeniusannya dalam mengembangkan gagasannya sampai sekarang masih terasa. Pesta rakyat aduan sapi yang sekarang lebih dikenal dengan Kerapan Sapi telah berkembang sedemikian rupa. Karena dengan adanya kerapan sapi ini, telah menggugah dan menggali nuansa seni yang ada dalam diri manusia. Seni tari, seni musik telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian acara perlombaan.
Pada masa sekarang Kerapan Sapi tetap merupakan sebuah pesta rakyat dan mampu menyedot perhatian rakyat di dataran pulau Madura. Hal itu dapat dilihat, setiap event perlombaan yang diadakan di tingkat Kecamatan, Pembantu Bupati, Kabupaten atau pun tingkat Madura senantiasa dibanjiri oleh penonton dari semua lapisan masyarakat. Masyarakat dari berbagai kalangan, tumpah ruah, berbondong-bondong mengeluh-elukan sapi yang berasal dari daerahnya. Hal itu disebabkan adanya ikatan emosional yang kuat antara peserta dan penonton yang berasal dari satu wilayah. Tak mengherankan apabila ajang Kerapan Sapi dijadikan simbol status sosial. Selain itu Kerapan Sapi mampu membangun kebersamaan, mempertautkan kembali tali silaturrahim serta menaikkan pamor suku bangsa Madura.
Kerapan Sapi telah menjadi identitas, trade mark dan simbol keperkasaan. Di sektor pariwisata, Kerapan Sapi merupakan pemasok utama Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Karena dari sektor ini, para wisatawan manca negara maupun wisatawan domestik mengeluarkan koceknya, membeli karcis untuk menonton keperkasaan, kelincahan, kecepatan laju sapi, sekaligus menyaksikan kepintaran, kecekatan, kelihaian, kepiawaian para Joki ketika mengendalikan sapi tunggangannya.
Setiap tahun ada acara puncak Kerapan Sapi yang diselenggarakan sekitar bulan Agustus atau September. Acara tahunan tersebut merupakan event paling bergengsi karena memperebutkan piala bergilir dan piala tetap Presiden. Dalam event itu, masing-masing Kabupaten dalam wilayah Madura mengirimkan pasangan sapi terbaiknya. Adapun Sapi Kerapan yang berhak berlaga dalam arena bergengsi tersebut, merupakan hasil seleksi yang ketat dari masing-masing wilayah Kabupaten. Dengan demikian, pasangan sapi kerapan adalah duta dari masing-masing Kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.

Tulisan ini dipartisipasikan untuk Plat-M, Id-Blog Network dan Blogger Nusantara

1 komentar:

  1. ternyata banyak juga penjelasan mengenai asal usul kerapan sapi.. semoga lebih banyak turis yang berkunjung ke pulau madura.. ;)

    BalasHapus

Terima Kasih Atas Kunjungan & Komentar Anda di Agung Blog