Malang, Kota Unik yang Penuh Nilai Historis



Malang Nominor, Sursum Moveor yang memiliki arti Malang Namaku, Maju Tujuanku; merupakan rangkaian kata yang menjadi semboyan Malang tempo doeloe.
Hal ini tak terlepas dari peranan wilayah Malang yang sangat penting di masa lalu. Terutama di masa penjajahan. Tak sedikit peninggalan masa itu yang tersisa. Tidak sedikit pula peninggalan bersejarah yang telah raib atau telah beralih fungsi. Sebagai contoh, gedung Concordia yang terletak di alun-alun kota, sekarang berubah fungsi menjadi salah satu pusat perbelanjaan bernama Sarinah. Di depan gedung ini telah dibangun monumen untuk mengenang “peranan” tersebut di masa lalu.
Semboyan ini mengisyaratkan mengacu pada makna kata malang sebagai nasib yang kurang baik, hal ini bisa dilihat dari kata setelah Malang Namaku yaitu kalimat Maju Tujuanku.
Kalimat kedua ini merupakan kalimat yang menegasi kalimat yang pertama. Kata malang dapat diartikan dalam bermacam-macam arti kata, mulai dari :
  1. Malang = nasib yang kurang beruntung
  2. Malang = menghalangi /membentang (basa jawa)
  3. Malang = nama yang diberikan oleh pasukan Sultan Demak ketika mencoba menyerang untuk memperluaskan daerah kekuasaan. Kata ini berasal dari istilah malang-melintang.
  4. Malang = Tuhan menghancurkan yang bathil dan menegakkan yang baik. Kata ini berasal dari istilah Malang Kucecwara.
Nama Malang ternyata memiliki nilai historis yang cukup tinggi. Dibawah ini merupakan sejarah kota kita tercinta ini dinamakan Malang.
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo), Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai dengan kultus Dewa – Raja dalam agama Ciwa.

Nama para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini, mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari). Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken Arok (Singosari – Kegenengan – Kidal – Jago : semuanya berupa candi).

Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini). Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai. Disekitar daerah Kebalen – Kuto Bedah – DAS Brantas banyak dijumpai gua buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.

Pararaton ditulis pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan dan politik. Penulisan Pararaton sudah . Namun pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasa alias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan. Namun istilah Kabalon hanya dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga diwariskan pada masa sekarang.

3 komentar:

Terima Kasih Atas Kunjungan & Komentar Anda di Agung Blog